TEKS

SELAMAT DATANG DAN JANGAN LUPA ISI BUKU TAMU & KOMENTAR YA.....

Tuesday, April 13, 2010

UJTIHAD SEBAGAI SUMBER ISLAM

By: Dewi Umsiati

Pengertian Ijtihad dan Ruang Lingkupnya

Secara etimologi kata ijtihad terbentuk dari kata dasar “jahada” yang berarti seseorang telah mencurahkan segala kemampuannya untuk memperoleh hakikat sesuatu tertentu.

Sedangkan menurut istilah dalam ilmu fiqih ijtihad berarti mengarahkan tenaga dan fikiran dengan sungguh-sungguh untuk menyelidiki dan mengeluarkan (mengistimbatkan) hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an dan hadits dengan syarat-syarat tertentu.

· Sebagian ulama’ mendifinisikan ijtihad dalam pengertian umum, bahwa ijtihad adalah menghasilkan (memaksimalkan) kesungguhannya dalam mencari sesuatu yang ingin dicapai, sehingga dapat diharapkan tercapainya atau diyakini sampai kepada tujuannya.

· Menurut praktek sahabat, ijtihad adalah penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat dengan kitab Allah Swt., dan sunnah Rasulullah Saw., baik melalui suatu nasakh, yang disebut qiyas maupun melalui sesuatu maksud dan tujuan umum.

· Menurut mayoritas ulama’ ushul, ijtihad adalah pengerahan segenap kesanggupan oleh seorang ahli fiqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian ijtihad dhann (pendugaan kuat) mengenai hukum syara’.

· Dari definisi ijtihad secara terminology di atas mengandung pengertian bahwa mujtahid mengerahkan kemampuannya artinya mencurahkan kemampuan seoptimal mungkin sehingga ia merasakan bahwa dirinya tidak sanggup lagi melebihi dari tingkat itu.

Adapun syarat-syarat menjadi mujtahid adalah:

a. Memahami al-Qur’an dan asbabul nuzulnya serta ayat-ayat nasikh dan mansukh.

b. Memahami hadits dan sebab-sebab wurudnya serta memahami hadits nasikh dan mansukh.

c. Mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang bahasa Arab.

d. Mengetahui tempat-tempat ijtihad.

e. Mengetahui ushul fiqih.

f. Memahami masyarakat dan adat istiadat dan bersifat adil dan taqwa.

Ijtihad Sebagai Sumber Dinamika dan Pembentukan Budaya Islam

Ijtihad itu perlu dilakukan oleh umat Islam dalam perjuangannya untuk mencapai suatu tujuan kebaikan dan kebenaran mengingat pentingnya ijtihad sebagai sarana mengelola dinamika masyarakat.

Berikut ini adalah penjelasan tentang Allah Swt., menurunkan AL-Qur’an sebagai petunjuk kehidupan bagi orang-orang yang bertaqwa (Q.S. Al-Baqarah: 2), kemudian Allah Swt., memfungsikan rasul-Nya Muhammad Saw., selain untuk memabca Al-Qur’an juga menuangkan pengertiannya yang memberikan contoh pengalamannya di dalam kehidupan sehari-hari yang beliau katakana dan contohkan dengan petunjuk Allah itu disebut As-Sunnah dan Al-Hadits. Dua petunjuk telah diturunkan penjabaran yang lebih rinci dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Sebenarnya Ijtihad ini dilakukan dalam segala bidang, tetapi kemudian orang lebih banyak menyoroti ijtihad di bidang fiqih atau hukum Islam.

Tradisi ijtihad berkembang terus, dan mengalami masa keemasannya pada abad ke-2 sampai abad ke-4 H yang paling banyak dilakukan pada masa tersebut muncullah nama-nama mujtahid besar, yang kemudian dikenal dengan iman-imam madzhab seperti imam hanafi, imam syafi’I, imam hambali dan lain-lain.

Aktifitas ijtihad di satu pihak mengembangkan ilmu pengetahuan yang luas dan membuka ruang bagi dinamika masyarakat yang sepi tetapi di pihak lain ijtihad itu menimbulkan beda pendapat yang tajam.

Maka sesudah abad ke-4 H muncullah wacana untuk menutup ijtihad dengan anggapan bahwa hasil-hasil kajian ilmu yang dilakukan sampai masa itu sudah cukup untuk menjawab berbagai masalah yang timbul kemudian. Apalagi pada masa itu tidak ada lagi mujahid besar selain keempat imam, yang mampu menjadi lokomotif untuk menggerakkan gerbang pembawa gerakan ijtihad. Ada ulama’ terkemuka yaitu ibnu taimiyah (611-728 H) yang mendobrak kebekuan dengan suaranya yang keras untuk membuka kembali pintu ijtihad

Seruan ini kemudian didukung penuh oleh ulama’-ulama’ yang hadir sesudah beliau, seperti Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787 M), Jamaluddin Al-Afghani (1838-1897 M), Muhammad Abduh (1849-1905 M), dan lain-lain. Pada hakikatnya ijtihad memang tidak dapat dihambat dan dihalangi. Menutup pintu ijtihad berarti menghentikan dinamika dan kreatifitas yang merupakan ciri kemajuan.

Salah satu wujud pengaruh Islam yang secara budaya lebih sistematik adalah pesantren. Fenomena pesantren sesungguhnya telah berkembang sebelum Islam masuk. Pesantren pada saat itu menjadi tempat pendidikan dan pengajaran agama Hindu. Setelah Islam masuk, materi dan proses pendidikan di pesantren diambil alih oleh Islam.

Pesantren pada dasarnya sebuah asrama pendidikan Islam tradisional. Siswa tinggal bersama dan belajar ilmu-ilmu keagamaan yang di bawah bimbingan seorang guru yang dikenal dengan sebutan kyai. Dengan kata lain, pesantren dapat diidentifikasikan dengan adanya lima elemen pokok yaitu: pondok, masjid, santri, kyai dan kitab-kitab klasik. Melalui pesantren ini, budaya Islam berkembang dan beradaptasi terhadap budaya lokal yang berkembang disekitarnya.

Kedudukan Ijtihad sebagai Sumber Hukum Islam

Ijtihad di kalangan ulama’ Islam merupakan salah satu metode istimbath atau penggalian sumber hukum syara’ melalui pengarahan seluruh kemampuan dan kekuatan nalary dalam memahami nash-nash syar’I atas sesuatu peristiwa yang dihadapi dan belum tercantum atau belum ditentukan oleh hukumnya.

Adapun hukum melakukan ijtihad antara lain:

· Orang tersebut dihukumi fardhu ain untuk berijtihad apabila ada permasalahan yang menimpa dirinya.

· Juga dihukumi fardhu ain ditanyakan tentang sesuatu suatu permasalahan yang belum ada hukumnya.

· Dihukumi fardhu kifayah jika permasalahan yang diajukan kepadanya tidak dikhawatirkan aan habis waktunya.

· Dihukumi sunnah apabila berijtihad terhadap permasalahan yang baru, baik ditanya maupun tidak.

· Dihukumi haram, apabila berijtihad terhadap permasalah yang sudah ditetapkan secara qath’I sehingga hasil ijtihad itu bertentangan dengan dalil syara’.

No comments:

Post a Comment