TEKS

SELAMAT DATANG DAN JANGAN LUPA ISI BUKU TAMU & KOMENTAR YA.....

Wednesday, March 9, 2011

Sejarah Peradilan di Indonesia Pada Masa Penjajahan Belanda

Oleh : Asror

Bab I

Regereringsreglement 1854

Pada masa ini suasana di Hindia Belanda tidak begitu aman, karena banyaknya terjadi pelanggaran-pelanggaran nilai-nilai manusiawi, dengan di terapkan sistem culterstelsel, tidak adanya kepastian hukum dan berjalannya roda pemerintahan yang terjadi banyak penyimpangan kewenangan di Hindia Belanda. Tentunya hal ini menarik perhatian dari negeri induknya yakni Belanda. Banyak kecaman datang dari kelompok liberalisme yang tidak menyetujui dengan gaya pengelolaan negara jajahan yang tidak manusiawi itu.

Untuk itu diperlukannya kebijakan-kebijakan baru dibidang hukum dan pemerintahan di Hindia Belanda, agar adanya kepastian hukum bagi setiap warga serta berjalannya roda pemerintahan yang fair. Beratnya tugas yang diemban oleh administrator-administrator sehingga tidak menghasilkan hasil yang maksimal dan membuka banyak peluang untuk terjadinya penyelewengan-penyelewengan wewenang, ditambah lagi kurangnya pengawasan. Hal ini ditandai dengan adanya tugas-tugas kepolisian dan tugas-tugas peradilan perdata maupun pidana yang harus dijalankan oleh administrator tersebut.

Selain itu, ide kaum liberalisasi adalah untuk mendapatkan pengakuan dan hak yang sama terhadap masyarakat pribumi, sebab selama ini masyarakat pribumi hanya menjadi objek penderitaan yang berkepanjangan tanpa adanya insentif tertentu bagi pribumi. Salah satu prektek eksploitasi yang sangat kejam tersebut ialah sistem tana paksa.

Tanam paksa atau cultuur stelsel adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch yang mewajibkan setiap desa harus menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor khususnya kopi, tebu, nila. Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak.

Pada prakteknya peraturan itu dapat dikatakan tidak berarti karena seluruh wilayah pertanian wajib ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya diserahkan kepada pemerintahan Belanda. Wilayah yang digunakan untuk praktek cultur stelstel pun tetap dikenakan pajak. Warga yang tidak memiliki lahan pertanian wajib bekerja selama setahun penuh di lahan pertanian.

Tanam paksa adalah era paling eksploitatif dalam praktek ekonomi Hindia Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada jaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya dengan harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Aset tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan besar bagi modal pada zaman keemasan kolonialis liberal Hindia-Belanda pada 1835 hingga 1940.

Akibat tanam paksa ini, produksi beras semakin berkurang, dan harganya pun melambung. Pada tahun 1843, muncul bencana kelaparan di Cirebon, Jawa Barat. Kelaparan juga melanda Jawa Tengah, tahun 1850.Sistem tanam paksa yang kejam ini, setelah mendapat protes keras dari berbagai kalangan di Belanda, akhirnya dihapus pada tahun 1870, meskipun untuk tanaman kopi diluar Jawa masih terus berlangsung sampai 1915. Akibat berbagai kelaparan yang menimpa hampir seluruh penduduk di Jawa, telah menimbulkan berbagai kritikan pedas dari orang-orang non-pemerintah. Gejala kelaparan ini diangkat kepermukaan dan dijadikan isu bahwa pemerintah telah melakukan eksploitasi yang berlebihan terhadap bumiputera Jawa. Muncullah orang-orang humanis maupun praktisi Liberal menyusun serangan-serangan strategisnya. Di bidang sastra muncul Multatuli atau Dr. Douwes Dekker, dilapangan jurnalistik muncul E.S.W Roorda van Eisinga, dan di bidang politik dipimpin oleh Baron van Hoevell, sehingga dari sinilah muncul gagasan politik etis.

Maka untuk mengatasi semua masalah tersebut maka dikeluarkannya Regereringsreglement 1854, sebuah upaya untuk menciptakan Hindia Belanda sebagai negara hukum (rechtstaat) bukan negara yang berdasarkan kepada kekuasaan (machtstaat). Adapun inti dari kebijakan ini adalah memerintahkan agar pengelolaan pemerintahan di Hindia Belanda dengan menggunakan azas trias politika dengan menyerahkan peradilan kepada hakim yang bebas serta menerapkan azas legalitas untuk mendapat kepastian hukum serta melarang pemidanaan yang menyebabkan seseorang akan kehilangan hak-hak perdatanya. Dan kaum pribumi dilindungan semua hak-hak nya dengan peraturan-peraturan yang ada.

Bab II

Kebijakan eenheidsbeginsel

Cita-cita kaum liberal untuk mewujudkan kepastian hukum di Hindia Belanda yakni dengan melakukan unifikasi hukum yang terkenal dengan kebijakan eenheidsbeginsel. Dengan adanya ide ini, maka setiap masyarakat akan memperoleh hak yang sama dan roda pemerintahan bisa berjalan dengan baik dan benar. Dengan adanya unifikasi hukum tersebut maka akan hilangnya diskriminasi terhadap pribumi, karena hak-hak bagi pribumi akan sama dengan hak-hak bagi kaum eropa, dengan membiarkan dualisme berjalan ditengah kehidupan Hindia Belanda berarti sama saja dengan membiarkan diskriminasi terus berjalan di Hindia Belanda.

Namun niat baik dari kaum liberal ini untuk melakukan unifikasi terbentur dilapangan, karena selama ini masyarakat pribumi hidup dengan menjalankan dualisme hukum, masyarakat sudah terbiasa dengan hal-hal tersebut, apabila dilakukan juga unifikasi hukum dengan segera, maka akan mengakibatkan hancurnya lembaga-lembaga adat masyarakat pribumi yang telah hidup ditengah-tengah masyarakat. Namun secara pragmatis dan realistik, dengan diterapkannya unifikasi hukum maka akan mengeluarkan biaya yang banyak dan waktu yang cukup lama, karena banyak yang harus disiapkan untuk menuju kesana.

Unifikasi mudah dalam cita-cita dan rekaan ideal, tetapi sungguh terasa sulit dalam pelaksanaan. Lebih dari dua abad lamanya dualisme hukum telah dipertahankan berlakunya, sehingga untuk melakukan unifikasi tidaklah mudah dan selalu terbentur tembok keras kenyataan dilapangan. Untuk meujudkannya memerlukan waktu dan harus hati-hati dan tidak mengejutkan administrator yang bertanggung jawab ditataran pemerintahan kolonial.

Maka diambillah jalan tengah yakni dengan menerapkan unifikasi maka dikeluarkan kebijakan berupa vrijwillige onderwerping dan toepasselijk verklaring. vrijwillige onderwerping adalah upaya kecil-kecilan oleh para pencari keadilan bangsa pribumi secara individual yang dimungkinkan oleh hukum untuk membuat pilihan hukum, kebijakan toepasselijk verklaring adalah upaya besar-besaran lewat wewenang Gubernur Jenderal untuk menerapkan peraturan perundang-undangan Eropa tertentu ke golongan pribumi. Maka, dengan dikeluarkannya dua kebijakan ini, hukum asli rakyat pribumi hanya kan dipakai oleh hakim sejauh hukum itu tidak bertentangan dengan aturan-aturan yang ada. Ini merupakan bentuk kompromi dalam melakukan unifikasi disatu sisi dan tetap mempertahankan dualisme hukum disisi yang lain. Tetapi pada akhirnya dua kebijakan ini merupakan cikal bakal untuk menerapak unifikasi hukum untuk hukum-hukum tertentu seperti bidang tenaga kerja dan tanah.

Bab III

Ihwal Perundang-undangan kolonial dibentuk pada periode liberalisme (1850-1890)

Pada masa ini terjadi perkembangan hukum yang lebih bersifat pragmatis yang didengungkan oleh kelompok liberal. Mereka menggaungkan supaya diberlakukannya hukum Eropa dengan maksud lain, disatu sisi kaum liberal mendengungkan nilai-nilai kemanusian, persamaan hak dan persaudaraan antara sesame manusia, namun dibelakang maksud baik itu semua terdapat sebuah rencana licik yang akan membawa rakyat di Hindia Belanda dibawah eksploitasi yang diluar batas kemanusiaan.

Kaum liberal ingin memudahkan melakukan usahanya di Hindia Belanda dengan perundang-undangan yang ada. kaum liberal di Belanda berhasil memaksa pemerintah Belanda untuk menghapuskan Tanam Paksa dengan diberlakukannya UU Agraria atau Agrarische Wet. Namun tujuan utamanya ternyata bukan hanya menghapuskan Tanam Paksa, tapi lebih dari itu yaitu memperjuangkan kebebasan ekonomi dimana mereka berpendapat bahwa pemerintah jangan ikut campur dalam bidang ekonomi, mereka menghendaki agar kegiatan ekonomi ditangani oleh pihak swasta, sementara pemerintah bertindak sebagai pelindung warga negara, menyediakan prasarana, menegakkan hukuman dan menjamin keamanan serta ketertiban.

Dampaknya bagi kaum pribumi adalah semakin meluasnya kemiskinan, sehingga menimbulkan gelombang protes dari kaum humanis tadi seperti Dr. Douwes Dekker yang menulis sebuah buku yaitu Max Havelaar pada tahun 1860, dalam buku itu diceritakan kondisi masyarakat petani yang menderita akibat tekanan pejabat Hindia Belanda. Selain itu, seorang anggota Raad van Indie, C.Th van Deventer membuat tulisan berjudul Een Eereschuld, yang membeberkan kemiskinan di tanah jajahan Hindia-Belanda. Tulisan ini dimuat dalam majalah De Gids yang terbit tahun 1899. Van Deventer dalam bukunya menghimbau kepada Pemerintah Belanda, agar memperhatikan penghidupan rakyat di tanah jajahannya. Dasar pemikiran van Deventer ini kemudian berkembang menjadi Politik Etis.

Rupanya eksploitasi yang dilakukan oleh pihak swasta melalui kebijakan-kebijakan liberal yang memperbolehkan pihak swasta untuk melakukan eksploitasi di Hindia Belanda mengakibatkan dampak yang sangat parah sekali dirasakan oleh masyarakat dari pada sistem eksploitasi pemerintah melewati tanam paksa.

Untuk memudahkan usahanya maka dikeluarkanlah undang-undang mengenai pertanahan. Dengan adanya undang-undang ini diatur bagaimana caranya agar usaha-usaha swasta dapat memperoleh tanah untuk menjalankan perusahaannya. Salah satu undang-undang mengenai pertanahan, masalah pokok yang hendak diatasi dengan Cultuurwet ( Undang-undang Tentang Usaha Pertanian) itu, ialah, bagaimanakah caranya agar usaha-usaha swasta dapat memperoleh tanah untuk menjalankan perushaannya. Bersamaan dengan upaya menata kebijakan hukum dalam soal pertanahan dan pendayagunaanya, yang ternyata mengudang kontroversi antara kepentingan untuk segera memajukan posisi orang-orang pribumi setara dengan posisi orang-orang Eropa ( khususnya dalam usaha-usaha pertanian) dengan kepentingan untuk melindungi orang-orang pribumi dari kemungkinan terampas milik-milik tanahnya oleh orang-orang Eropa (uang dikatakan lebih berakal menurut ukuran saat itu), pada dasawarsa 1860-an itu telah terpikirkan pula kebijakan-kebijakan hukum dalam soal ketenagakerjaan. Upaya mengeluarkan perundang-undangan mengenai tenaga kerja adalah untuk menjamin dapat diperolehnya tenaga-tenaga kerja bagi usaha-usaha perkebuanan swasta, yang akan tampil menggantikan kulturstelsel adalah upaya yang relative sulit dari pada upaya-upaya serupa untuk menjamin dapat diperolehnya lahan-lahan pertanian. Berbeda dari suplai tanah yang dapat diperoleh dari apa yang dikuasai secara de facto oleh penduduk dan masyarakat pribumi lewat pernyataan hukum yang disebut domeinverklaring. Suplai tenaga kerja tidaklah akan mungkin dapat diperoleh kecuali dengan cara “merebut” dan “menyita” nya dengan suatu tindakan yang lebih nyata dari kawasan ulayat masyarakat pribumi itu. Lagi pula, suplai tenaga manusia pada waktu itu berbeda dengan suplai tanah, suplai tenaga manusia jauh lebih terbatas.

Bab IV

Kebijakan diseputar politik etik kolonial pada peralihan abad 19

         Seperti kita ketahui, sejak awal 1900 an, pemerintah Hindia Belanda, atas usul Van de Venter anggota Parlemen Belanda dari Partai Buruh, menekankan perlunya pemerintah Hindia Belanda menjalankan apa yang disebut sebagai Politik Etis, yaitu agar dalam menjajah Indonesia hendaknya juga memperhatikan kesejahteraan dan kemajuan sosial ekonomi masyarakat Indonesia. Semacam konsep imperialisme berakhlak. Memang setelah itu mulai ada upaya pemerintah Belanda membuka lembaga-lembaga pendidikan.  Kebijakan politik etis ini diterapkan untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat pribumi yang sedang menurun. Padahal hasil yang diperoleh di daeah jajahan berlipat ganda sedangkan kemakmuran pada masyarakat pribuminya sangat memprihatikan, maka untuk itu diperlukan upaya timbal balik dengan menyisihkan sedikit keuntungan untuk memakmurkan taraf kehidupan masyarakat pribumi. 

Van Vollenhoven merupakan seorang ahli hukum, ia berperdapat bahwa hukum adat tak perlu dihapus, karena itu merupakan cerminan masyarakat pribumi. Dia tidak menentang unifikasi, tetapi ia berpendapat bahwa tidak mungkin mayoritas yakni pribumi berhukum kepada hukum mayoritas yakni eropa. Kemudian de strijd om het adatrecht ini disambung oleh muridnya yakni Ter Har yang telah berhasil menghimpun dan menyusun konsep-konsep hukum adat.

Cara pandang Ter Harr dan Van Vollenhoven didalam hukum adat sangatlah berbeda, kalau Ter Har memandang hukum adat dari konsep common law dan menurutnya hukum adat itu adalah bagian dari kebijakan pengusa, sedangkan Van Vollen hoven memandang hukum adapt ialah aturan-aturan yang harus dikodifikasikan dan hukum adat itu adalah miliknya masyarakat. Walaupu hukum adapt tidak terkodifikasi dan kurang mendapatkan tempat, hukum adapt telah membawa peran yang cukup penting dalam menyelesaikan masalah-masalah serta sengketa hukum ditengah-tengah masyarakat pribumi. Sehingga terjadinya dualisme hukum ditengah-tengah dunia hukum di Hindia Belanda.

            Ball menyebut dualisme hukum ini dengan enlightenen dualism, jadi hukum adat tetap dianggap sebagai hukum yang setara dengan hukum eropa ditanah Hindia Belanda. Sehingga banyak yurisprudensi-yurisprudensi dari hukum adapt yang dijadikan dasar hukum dalam memutuskan suatu masalah. Namun dipihak lain banyak juga yang menentang terhadap hukum adapt tersebut, bagi pihak yang kontroversi terhadap hukum adapt ini memandang bahwa apabila hukum adapt tetap dipertahankan maka nantinya masyarakat pribumi akan tertutup dengan adanya keterbukaan dan kemajuan zaman serta mereka memiliki pandangan bahwasanya hukum adat melindungi kelompok pribumi saja, sedangkan di Hindia Belanda masyarakatnya sudah demikian plural

Bab V

Perkembangan kebijakan zelfbestuur bagi masa depan “Tanah Hindia”

Banyak kewenangan yang dimiliki oleh gubernur jenderal seperti memegang kekuasaan lgislatif di negeri kolonial, berkewenangan untuk melaksanakan peraturan-peraturan yang ada, berkewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan pejabat-pejabat tinggi dijajaran pemerintahan kolonial, berkedudukan sebagai penglima tertinggi angkatan darat dan angkatan laut di Hindia Belanda dan berkewenangan untuk memberikan grasi. Untuk mendayagunakan seluruh kekuasaan dan kewenangannya, gubernur jenderal dibantu oleh suatu organisasi pemerintahan yang diisi oleh pejabat-pejabat yang tidak sedikit pun mempunyai kekuasaan administrative yang mandiri, baik dipusat pemerintahan maupun didaerah-daerah. Karena besarnya kewenangan gubernur jenderal maka sulit untuk melakukan pengawasan dan pengontrolan sehingga pola pemerintah terksesan monopoli.

Buruknya kinerja pemerintahan kolonial sehingga mendapat kritikan yang tajam dari kelompok-kelompok liberal yang berada di Hindia Belanda. Mereka menuntut reformasi sistem pemerintahan yang ada, dan kemudian mereka menginginkan agar mereka dikutsertakan dalam mengambil setiap keputusan dan kebijakan didaerah Hindia Belanda yag disebut dengan Gewestelijk raad. Gewestelijk raad adalah suatu dewan dimana warga Eropa dapat berbicara untuk menyuarakan isi hatinya. Sudah tiba waktunya pemerintah membuka mata untuk melihat perkembangan di tanah Hindia Belanda dan untuk kemudian melakukan reformasi ketatanegaraan yang sudah harus dipandang sebagai suatu langkah yang amat diperlukan agar kebijakan dan urusan pemerintahan tidak lagi hanya terpusat ditangan gubernur jenderal beserta raad van indie nya.

Untuk mewujudkan upaya reformasi ketatanegaraan di Hindia Belanda maka dikeluarkanlah Decentralisatie Wet 1903. adapun tujuan dikeluarkannya undang-undang ini adalah untuk mewujudkan desentralisasi administrative didaerah-daerah yang dimungkinkan. Yang pada pokoknya membagi wilayah Hindia Belanda kedalam satuan-satuan daerah dan pembagian itu akan dilakukan oleh raja, bahwa pemerintahan didaerah-daerah itu dilaksanakan oleh pejabat-pejabat tinggi yang sebutannya akan di tentukan kemudian, bahwa gubernur jenderal akan menetapka intruksi-intruksi berkenaan dengan hubungan para pejabat tinggi daerah itu dengan berbagai pihak lain serta kekuasaan sipil adalah kekuasaan yang tertinggi didaerah-daerah. Melalaui desentralisasi ini suara rakyat pribumi sudah ikut diperhitungkan, yakni dengan adanya perwakilan pribumi yang boleh duduk menjadi anggota raad. Walaupun dari segi kekuatan politik masih belum matang, ini bisa menjadi sebagai sebuah corong bagi pribumi untuk menyuarakan hak-haknya di dalam raden tersebut. Walaupun sebagian besar anggota raad adalah dari puak eropa.

Bab VI

Perkembangan hukum di Indonesia yang menyangkut ihwal ketatanegaraan

Pemerintahan militer Jepang membagi 3 wilayah komando, yaitu Jawa dan Madura, Sumatera serta Indonesia bagian timur. Untuk wilayah Jawa dan Madura berlaku Osamu Sirei 1942 No.1, yang mengatur bahwa seluruh wewenang badan pemerintahan dan semua hukum dan peraturan yang selama ini berlaku tetap dinyatakan berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan militer Jepang. Terhadap 2 wilayah lainnya juga diatur dengan peraturan yang serupa.

Kitab undang-undang dan ketentuan perundangan yang semula berlaku hanya untuk orang-orang Belanda, kini juga berlaku untuk orang-orang Cina. Hukum adat tetap dinyatakan berlaku untuk orang-orang pribumi. Pemrintah militer Jepang juga menambah beberapa peraturan militer ke dalam peratuturan perundangan pidana, dan memberlakukannya untuk semua golongan penduduk.

Namun kontribusi penting yang diberikan Jepang ialah dengan menghapuskan dualisme tata peradilan, sehingga Indonesia hanya memiliki satu sistem peradilan. Sebagaimana juga pada institusi pengadilan, jepang juga mengunifikasi badan kejaksaan dengan membentuk Kensatzu Kyoku, yang diorganisasi menurut 3 tingkatan pengadilan. Reorganisasi badan peradilan dan kejaksaan ditujukan untuk meniadakan kesan khusus bagi golongan Eropa di hadapan golongan Asia.

Dalam situasi lebih mementingkan keperluan perangnya, pemerintah militer Jepang tidak banyak merubah ketentuan administratif yang telah berlaku melainkan hanya beberapa ketentuan dianggap perlu untuk dirubah. Untuk menjamin jalannya roda pemerintahan dan penegakan tertib hukum, Jepang merekrut pejabat-pejabat dari kalangan Indonesia untuk melaksanakan hal tersebut. Namun setelah Indonesia berhasil merebut kemerdekaan dan berpemerintahan, banyak peraturan yang dibuat oleh pemerintah militer Jepang dinyatakan tidak berlaku.

Setelah Jepang pergi dari Indonesia, ini merupakan kesempatan bagi Indonesia untuk bisa memerdekakan dirinya, maka disusunlah segala sesuatu yang diperlukan untuk memenuhi syarat sebagai sebagai negara yang merdeka dan berdaulat termasuk didalam bidang hukum. Untuk mengisi kekososngan hukum maka hukum yang telah berlaku sebelumnya yakni hukum peninggalan Belanda di berlakukan melalui Pasal II aturan peralihan UUD 1945. Namun disatu sisi ada juga masukan dari kelompok-kelompok ahli hukum untuk menerapkan hukum-hukum yang ada dalam konsep mereka, seperti hukum Islam dan hukum Adat. Namun untuk memberlakukan hukum tersebut memerlukan waktu yang lama, sedangkan kebutuhan akan hukum sangatlah mendesak, sebab Indonesia sedang terlibat perang fisik dengan Belanda yang akan merongrong kedaulatan negara Indonesia.

Usaha untuk meredam kemerdekaan Indonesia dengan jalan kekerasan berakhir dengan kegagalan. Belanda mendapat kecaman keras dari dunia internasional. Belanda dan Indonesia kemudian mengadakan beberapa pertemuan untuk menyelesaikan masalah ini secara diplomasi, lewat perundingan Linggarjati, perjanjian Renville, perjanjian Roem-van Roijen, dan Konferensi Meja Bundar. Berdasarkan keputusan pada perundingan KMB atau konfrensi meja bundar antara Moh. Hatta, Moh. Roem dengan Van Maarseven di Den Haag Belanda memutuskan bahwa bentuk negara Indonesia adalah negara RIS / Republik Indonesia Serikat. Negara republik indonesia serikat memiliki total 16 negara bagian dan 3 daerah kekuasaan ditetapkan tanggal 27 desember 1949. Tujuan dibentuknya negara RIS tidak lain adalah untuk memecah belah rakyat Indonesia dan melemahkan pertahanan IndonesiaBelanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949, selang empat tahun setelah proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Pengakuan ini dilakukan ketika soevereiniteitsoverdracht (penyerahan kedaulatan) ditandatangani di Istana Dam, Amsterdam. Di Belanda selama ini juga ada kekhawatiran bahwa mengakui Indonesia merdeka pada tahun 1945 sama saja mengakui tindakan politionele acties (Aksi Polisionil) pada 1945-1949 adalah ilegal. Pada 5 Juli 1959 pukul 17.00, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang diumumkan dalam upacara resmi di Istana Merdeka. Dengan dikeluarkan dekrit tersebut Indonesia kembali ke UUD 1945 dan semua peraturan-peraturan hukum dan bentuk negara kembali kepada semula yakni kesatuan Republik Indonesia.

Bab VII

Kebijakan pembangunan hukum pada era orde baru

Kebijakan pembangunan hukum dimasa Orde baru ditujukan untuk melakukan pembangunan di bidang Ekonomi. Hukum dijadikan sarana dan prasarana untuk menumbuhkan pembangunan ekonomi di Indonesia. Hukum jangan sampai menghambat pembangunan Ekonomi. Pada masa ini hukum memang dibentuk untuk merekayasa kehidupan sosial masyarakat. Kekusaan pemerintahan yang sedemikian besar itu dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh keluarga istana. Selama lebih dari 32 tahun Orde Baru berkuasa, hukum telah menjadi instrumen untuk memperkaya kekuasaan. Dominasi para "konglomerat hitam" yang mengitari istana ketika itu telah melahirkan sejumlah produk hukum yang justru melegalisasi praktik-praktik KKN dan monopoli bisnis keluarga Soeharto.

Di bidang ekonomi, misalnya, betapa banyak keppres yang melegalisasi praktik-praktik monopolistik. Kasus-kasus seperti monopoli cengkih yang menyengsarakan petani, proyek jalan tol yang terlaksana tanpa tender yang fair, mobil Timor yang kontroversial, hingga pada kasus ruilslag tanah Bulog yang melibatkan Tomy, putra bungsu Soeharto, telah menjadi fakta sejarah betapa hukum pada masa itu telah menjadi instrumen untuk memperkaya kekuasaan. Karena itu, jika pada masa Orde Lama politik adalah panglima, pada masa ini ekonomi menjadi panglimanya.

Hukum pada zaman ini memang dijadikan alat untuk merekaraya masyarakat. Tujuan yang hendak dicapai pada zaman orde baru ini ialah pemabngunan ekonomi. Jadi hukum harus dijadikan sarana untuk memajukan pembangunan ekonomi bukan malah sebaliknya, hukum jangan dijadikan penghambat pembangunan ekonomi. Jadi hukum pada zaman ini tadak memfokuskan pada bidang lainnya sehingga sering mengkaburkan nilai-nilai keadilan, asas-asas moral dan wawasan kearifanyang sebenarnya. Sehingga tibulnya gerakan-gerakan untuk menuntut hak asasi manusia

Ide law as a tool of social engineering ditujukan secara selektif untuk memfungsikan hukum guna merekayasa kehidupan ekonomi nasional saja, dan tidak berpretensi akan sanggup merekayasa masyarakat dalam seluruh aspek kehidupannya. Ide ini tentu saja bersesuaian benar dengan kepentingan pemerintah orde baru, karena ide untuk mendahulukan pembangunan hukum yang gayut dengan ranah netral, yang juga hukum ekonomi, tanpa melupakan hukum tatanegara.

Dengan memfungsikan hukum untuk kepentingan pembangunan ekonomi (kehendak kepentingan industrialisasi masyarakat modern) oleh faham “ hukum sebagai sarana perekayasa social” begitu pula ide pendayagunaan hukum masuk sebagai kebijakan pemerintah dengan upaya melakukan survai untuk menginvestasikan dan meletakkan keadan hukum yang telah atau belum ada untuk kepentingan aktivitas ekonomi, yang kemudian bermanfaat untuk menentukan kebijakan perundang-undangan yang telah direncanakan dalam rancangan pembangunan lima tahun kedua. Pembangunan hukum nasional dengan cara mengembangan hukum baru atas dasar prinsip yang diterima dalam kehidupan Internasional, dimana ada dua pihak ahli hukum yang tidak setuju, yaitu harus ada kontinuitas perkembangan hukum (kolonial) menuju hukum nasional dimana Hukum nasional harus berakar yaitu hukum adat.

Jelasnya bahwa pendayagunaan hukum untuk kepentingan pembangunan Indonesia adalah dengan hukum yang telah diakui dan berkembang dikalangan bisnis Internasional (berasal dari hukum dan praktek bisnis Amirika), Para ahli hukum praktek, mempelajari hokum eropa (belanda) dimana mochtar berpengalaman luas dalam unsur-unsur hukum dan bisnis Internasional, melakukan pengembangan hokum nasional Indonesia dengan dasar hukum kolonial yang dikaji ulang berdasarkan Grundnom Pancasila adalah yang dipandang paling logis.

Hukum Kolonial secara formil masih berlaku dan sebagian kaidah-kaidahnya masih merupakan hukum positif Indonesia berdasarkan ketentuan peralihan, terlihat terjadi pergerakan kearah pola-pola hukum eropa(belanda). Telihat adanya adopsi dari hukum adat, hukum Amirika atau hukum Inggris, akan tetapi konfigurasinya/pola sistemiknya yang eropa tidak dapat dibongkar, hukum tata niaga atau hukum dagang (Handels recht Vav koophandel membedakan hukum sebagai perekayasa social atau hukum ekonomi. Dalam Weyboek Van Koohandel terdapat pula mengatur leasing, kondominium dan Universitas Padjadjaran melihat masalah hukum perburuhan, agraria, perpajakan dan pertambangan masuk kedalam hukum ekonomi. Terutama pada hukum dagang (belanda) yang dikualifikasikan sebagai hukum privat (perdata), sedangkan hukum ekonomi berunsurkan kepada tindakan publik-administratif pemerintah, oleh karenanya hukum dagang untuk mengatur mekanisme ekonomi pasar bebas dan hukum ekonomi untuk mengatur mekanisme ekonomi berencana.

Keberadaan hukum adat tidak pernah akanmundur atau tergeser dari percaturan politik dalam membangun hukum nasional, hal terlihat dari terwujudnya kedalam hukum nasional yaitu dengan mengangkat hukum rakyat/hukum adat menjadi hukum nasional terlihat pada naskah sumpah pemuda pada tahun 1928 bahwa hukum adat layak diangkat menjadi hukum nasional yang modern (soepomo). Di masa Orde Baru pencarian model hukum nasional adalah untuk memenuhi panggilan zaman dan untuk dijadikan dasar-dasar utama pembangunan hukum nasional., dimana mengukuhkan hukum adat akan berarti mengukuhan pluralisme hukum dan tidak berpihak kepada hukum nasional yang diunifikasikan (dalam wujud kodifikasi). Dan ide kodifikasi dan unifikasi diprakasai kolonial yang berwawasan universalistis, dimana hukum adat adalah hukum yang memiliki perasaan keadilan masyarakat lokal yang pluralistis, dengan mengingat bahwa hukum kolonial dianggap sangat bertentangan dengan hukum adat adalah merupakan tugas dan komitmen Pemerintah Orde Baru untuk melakukan unifikasi dan kodifikasi kedalam hukum nasional tersebut.


Daftar Pustaka

Adi sulistiono, 1987. Sejarah lembaga peradilan di Indonesia (online) http://www.malang.ac.id, diakses 20 April 2010.

Disriani Lathifah,2009. Sejarah terbentuknya perdilan negeri di Indonesia, (online) http://www. Lathifah blog, sejarah terbentuknya peradilan negeri di Indonesia.com. Diakses 23 April 2010.

No comments:

Post a Comment