TEKS

SELAMAT DATANG DAN JANGAN LUPA ISI BUKU TAMU & KOMENTAR YA.....

Wednesday, June 1, 2016

Pengertian Cerai Atau Talak



Kasus posisi

Perceraian merupakan suatu proses dimana sebelumnya pasangan tersebut sudah (pasti) berusaha untuk mempertahankannya namun mungkin jalan terbaiknya adalah suatu "perceraian". Perlu diketahui bahwa proses perceraian di Indonesia hanya dapat dilakukan di Pengadilan Agama (khusus untuk beragama Islam) atau di Pengadilan Negeri (khusus untuk yang non-Islam). Pengadilan Agama untuk yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri untuk yang beragama non-Muslim. Indonesia merupakan negara yang masih menjunjung tinggi adat ketimuran, dimana pernikahan dianggap sebagai sesuatu yang sakral. Namun demikian, angka perceraian kerap melonjaktinggi di beberapa Pengadilan Agama di Indonesia.
PEMBAHASAN

2.1.            Pengertian Cerai Atau Talak
Talak diambil dari kata itlak, artinya melepaskan, atau meninggalkan. Dalam istilah agama, talak adalah melepaskan ikatan perkawinan, atau rusaknya hubungan pernikahan.
Mengutip pendapat yang dikemukan Abdurrahman al-jaziri bahwa makna talak secara bahasa adalah melepaskan ikatan atau mengurangi pelepasan ikatan dengan menggunakan kata-kata tertentu. Sedangakan secara istilah al-jaziri mengatakan :
ازالة النّكاح رفع العقد بحيث لا تحلّ له الزّوجة بعد ذلك.
Sedangakan Sayyid Sabiq mendefinisikan talak dengan sebuah upaya untuk melepaskan ikatan perkawinan dan selanjutnya mengakhiri hubungan perkawinan itu sendiri. Dari definisi diatas jelaslah bahwa telak merupakan sebuah lembagai yang digunakan untuk melepaskan sebuah ikatan perkawinan. Disamping itu lembaga talak dalam Islam juga menunjukan bahwa konsep perkawinan dalam Islam bukanlah sebuah sakramen seperti yang terdapat dalam agama Hindu dan Budha, yakni sebuah perkawinan tidak bisa diputuskan. Talak dalam Islam merupakan alternatif terakhir sebagai upaya solutif terhadap persolan rumah tangga sehingga keberadaannya tidak lepas dari persoalan-persolan yang melatar belakanginya. Seperti percekcokan yang terjadi terus menerus, adanya nusyuz baiak yang dilakukan oleh isteri maupun suami Adapun beberapa unsur atau rukun yang harus dipenuhi dalam talak sebagaimana dikemukan Abdurrahman al Jaziri diantaranya, adanya suami dan isteri, adanya sighat talak, dan adanya niat atau maksud untuk menceraikannya.
2.2.            Hubungan perceraian dengan ekonomi
Begitu Anda resmi bercerai, hidup Anda akan dimulai lagi dari awal. Apakah akan menjadi semakin baik atau semakin buruk, semua tergantung pada niat dan usaha Anda. Perceraian memang akan berpengaruh pada kondisi emosional dan keadaan ekonomi keluarga.
Kehidupan ekonomi setelah bercerai dapat menjadi sulit terutama jika saat menikah dulu, Anda hanya sebagai ibu rumah tangga. Ataupun jika Anda bekerja, tetap saja pendapatan keluarga menjadi berkurang karena kehilangan satu orang pencari nafkah. Bantuan keuangan atau tunjangan dari mantan suami mungkin akan sedikit membantu namun seringkali tidak cukup untuk membiayai kebutuhan Anda dan anak terutama untuk jangka panjang. Oleh sebab itu, Anda harus bisa melakukan sesuatu untuk menambah penghasilan keluarga. Anda harus bekerja entah bekerja sendiri sebagai wiraswasta, bekerja membantu saudara, ataupun bekerja kantoran. Dengan demikian, kehidupan ekonomi setelah bercerai dapat semakin membaik dan Anda juga bisa semakin mandiri dan tidak tergantung pada bantuan mantan pasangan atau keluarga besar.
Perceraian akan mempengaruhi emosi pada pasangan yang bercerai. Kesedihan, kekecewaan, dan merasa gagal seringkali menjadi emosi dominan pada pasangan yang bercerai. Segeralah sadari bahwa keputusan bercerai ini adalah keputusan terbaik yang telah terjadi dalam hidup Anda. Jangan menganggap perceraian hanya kegagalan semata namun awal untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Bagaimanapun, Anda dan mantan pasti sudah berpikir
masak-masak mempertimbangkan alasan untuk bercerai. Untuk mengatasi kelabilan emosi pada pasangan yang bercerai, Anda dapat sering menghabiskan waktu bersama keluarga besar dan anak tercinta untuk mengusir rasa sepi, Anda juga bisa melakukan banyak aktifitas di luar yang bisa membangun sisi positif Anda.
Perceraian menurut Undang - Undang Republik Indonesia No.1 tahun 1994 (pasal 16), terjadi apabila antara suami-istri yang bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun dalam suatu rumah tangga. Perceraian terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan didepan sidang pengadilan (pasal 18). Gugatan perceraian dapat diajukan oleh suami atau istri atau kuasanya pada pengadilan dengan alasan–alasan yang dapat diterima oleh pengasilan yang bersangkutan.
Undang Undang Perkawinan, 1974 Bab VIII, pasal 39 ayat 2 berbunyi : “ untuk melakukan perceraian  harus ada cukup alasan antara suami istri untuk tidak akan hidup rukun sebagai suami istri”
Menurut Undang Undang Perkawinan no. 1/ 1974, perceraian adalah keadaan terputusnya suatu ikatan perkawinan. Ada dua macam perceraian sesuai dengan Undang Undang Perkawinan no. 1/ 1974 pasal 39 – 41, yaitu :
-          Cerai gugat
Cerai gugat adalah terputusnya ikatan suami istri dimana dalam hal ini sang istri yang melayangkan gugatan cerai kepada sang suami.
-          Cerai talak
Cerai talak adalah putusnya ikatan suami istri yang mana dalam hal  ini sang suami memberikan talak kepada sang istri.
Inversion et. Al  mendefinisikan sebagai pemutusan dan pengingkaran ikrar pernikahan serta keseluruhan kewajiban moral, hukum dan jasmani yang tercakup didalamnya. Perceraian adalah suatu proses yang menimbulkan pergolakan secara emosional bagi orang-orang dewasa maupun anak-anak (Tomlinson & Keasey, 1985).
Emery (1999) mendefinisikan perceraian sebagai peristiwa berpisahnya pasgan suami istri atau berakhirnya suatu ikatan perkawinan karena tercapainya kat sepakat mengenai masalah hidup bersama. Emery (1999) mengemukakan bahwa perpisahan suami istri seringkali terjadi karena tidak bisa menyelesaikan konflik intern yang fundamental. Kinflik yang timbul sejalan dengan umur kebersamaan suami istri, baik masalah yang datang dari dalam atau masalah dari luar keluarga.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa perceraian adalah putusnya hubungan perkawinan karena kehendak kedua belah pihak, baik itu perceraian berdasarkan secara hukum maupun perceraian dengan diam-diam. Sehingga mengakibatkan status suami atau istri berakhir. Perceraian ini diakibatkan karena kegagalan dalam mencapai tujuan perkawinan yang bahagia, kekal, dan sejahtera.


Jenis – Jenis Perceraian
Perceraian berdasarkan jenisnya dibedakan menjadi 2, yaitu :
-          Cerai hidup
Perceraian adalah berpisahnya pasangan suami istri atau berakhirnya suatu ikatan perkawinan yang diakui oleh hukum atau legal. Emery (1999) mendefinisikan perceraian hidup adalah berpisahnya pasangan suami istri atau berakhirnya perkawinan krena tidak tercapainya kata kesepakatan mengenai masalah hidup. Perceraian dilakukan karena tidak ada lagi jalan lain yang ditempuh untuk menyelamatkan perkawinan mereka.
-          Cerai mati
Cerai mati merupakan meninggalnya salah satu dari pasangan hidup dan sebagai pihak yang ditinggal harus sendiri dalam menjalani kehidupannya (Emery, 1999). Salah satu pengalaman hidup yang paling menyakitkan yang mungkin dihadapi oleh seseorang adalah meninggalnya pasangan hidup yang dicintai.
Benaim (dalam Ulfasari, 2006) mengatakan bahwa meninggalnya pasangan hidup bagi seorang wanita akan terasa lebih menyakitkan dibanding laki-laki, karena itu seorang laki-laki yang ditinggal mati pasangan hidupnya cenderung lebih cepat dapat melupakan atau menyelesaikan masalah tersebut dan memilih untuk menikah kembali. Sebaliknya bagi para wanita yang ditinggal mati suaminya biasanya akan memiliki masalah yang lebih kompleks. Mereka harus memikirkan sumber masalah, sumber keuangan bagi kehidupan dan juga untuk anak-anaknya.

Menurut Newman & Newman (1984) ada empat faktor yang memberikan kontribusi terhadap perceraian, yaitu :
a.        Usia saat menikah
b.        Di Amerika Serikat, angka perceraian cukup tinggi diantara pasangan yang menikah sebelum usia 20 tahun.
c.        Tingkat pendapatan
Angka perceraian di populasi yang memiliki pendapatan dan tingkat pendidikan rendah cenderung labih tinggi dibandingkan mereka yang ada dikalangan menengah ke atas.
d.       Perbedaan perkembangan sosio emosional diantara pasangan
Wanita dilaporkan lebih banyak mengalami stress dan problem penyesuaian diri dalam perkawinan di bandingkan laki-laki. Kepuasan dalam perkawinan juga tergantung pada kualitas-kualitas suami; seperti : stabilitas identitas maskulin, kebahagiaan dari perkawinan orangtua, tingkat pendidikan, dan status sosialnya.
e.        Sejarah keluarga berkaitan dengan perceraian
Ada sejumlah bukti yang menunjukkan bahwa anak-anak dari keluarga yang bercerai cenderung mengalami perceraian dalam kehidupan rumah tangganya.
Alasan lain yang umumnya boleh diajukan oleh suami untuk menceraikan istrinya adalah keadaan kesehatan istri, wataknya yang malas, dan keengganannya bekerja melayani keperluan suami. Sementara itu, alasan yang dipandang  sah untuk seorang istri agar dapat melepaskan diri dari ikatan perkawinan dengan suaminya umumnya berupa penelantaran dirinya oleh suami, atau oleh perlakuan kejam suami terhadap dirinya.
Konflik, terhambatnya komunikasi, hilangnya kepercayaan dan kebencian merupakan tahapan awal yang sangat berpengaruh dimana struktur perkawinan menjadi runtuh dan motivasi bercerai mulai muncul (Turner & Helms, 1983).
Perkawinan menjadi gagal antara lain karena ketidakmampuan pasangan suami istri dalam memecahkan masalah yang dihadapi (kurang adanya komunikasi 2 arah), saling cemburu, ketidakpuasan pelayanan suami/istri, kurang adanya saling pengertian dan kepercayaan, kurang mampu menjalin hubungan baik dengan keluarga pasangan, merasa kurang dengan penghasilan yang diperoleh, saling menuntut dan ingin menang sendiri (Gunarsa, 1999).

Kehadiran pihak ketiga dalam sebuah rumah tangga menunjukkan kegagalan dalam mengembangkan dan menyempurnakan cinta antara suami istri sehingga mengakibatkan putusnya  ikatan perkawinan (Hadiwardoyo, 1990).
Menurut Fauzi (2006)     alasan-alasan untuk bercerai adalah:
a.        Ketidakharmonisan dalam berumah tangga
b.        Ketidakharmonisan merupakan alasan yang kerap dikemukakan bagi pasangan yang hendak bercerai. Ketidakhrmonisan disebabkan bisa disebabkan oleh berbagai hal antara lain, ketidakcocokan pandangan, krisis akhlak, perbedaan pendapat yang sulit disatukan dan lain-lain.
c.        Krisis moral dan akhlak
d.       Perceraian juga sering memperoleh landasan berupa krisis moral dan akhlak misalnya kelalaian tanggung jawab baik suami maupun istri, poligami yang tidak sehat, pengaiayaan, pelecehan dan keburukan perilaku lainnya misalnya mabuk-mabukkan, terlibat tindak kriminal,  bahkan utang piutang.
e.        Perzinahan
Terjadinya perzinahan yaitu hubungan seksual di luar nikah yang dilakukan baik suami maupun istri merupakan penyebab perceraian. Di dalam hukum perkawinan Indonesia, perzinahan dimasukkan kedalam salah satu pasalnya yang dapat mengakibatkan berakhirnya percereaian.
f.         Pernikahan tanpa cinta
Alasan lain yang kerap dikemukakan baik oleh suami atau istri untuk mengakhiri sebuah perkawinan adalah bahwa perkawinan mereka telah berlangsung tanpa dilandasi adanya cinta.


Bentuk Dan Tahapan Perceraian
Perceraian menjadi salah satu persoalan yang paling menyakitkan dan menyulitkan dalam kehidupan seseorang. Hal ini dikarenakan perceraian menghadapkan seseorang dengan sejumlah proses dan pengambilan keputusan yang penting.
Bohannon (dalam Fitria, 2004) mencatat sejumlah bentuk  dan tahapan perceraian yang harus dilalui oleh seseorang, yaitu :
Perceraian Emosional merupakan awal persoalan dari perkawinan yang mulai memburuk. Bentuk perceraian ini adalah tahapan awal yang sangat berpengaruh dimana struktur perkawinan menjadi runtuh dan motivasi untuk bercerai mulai muncul. Perilaku-perilaku yang muncul diantanya adalah konflik, terhambatnya komunikasi, hilangnya kepercayaan, dan kebencian.
Perceraian Legal memerlukan lembaga pengaduan untuk memutuskan ikatan perkawinan. Pasangan biasanya mengalami kelegaan, jika perceraiannya telah diputuskan secara legal dimana berbagai ekspresi emosional akan muncul pada tahap ini.
Perceraian Ekonomi menunjukkan pada tahap dimana pasangan telah memutuskan untuk membagi kekayaan dan harta mereka masing-masing. Pada tahap ini seringkali dibutuhkan seorang penengah karena biasanya Kedua pasangan menunjukkan reaksi kebencian, kemarahan, dan permusuhan berkaitan dengan pembagian harta kekayaan.
Perceraian antar orang tua merupakan tahapan keempat yang berkenan dengan persoalan pengasuhan anak. Kekhawatiran dan perhaatian terhadap dampak perceraian pada anak seringkali muncul dalam tahap ini. 
Perceraian  Komunitas menunjukkan bahwa status individu dalam hubungan sosial menjadi berubah. Banyak individu yang bercerai merasa bahwa mereka terisolasi dan kesepain.
Perceraian Psikis berkaitan dengan mendapatkan kembali otonomi individual. Perubahan dari situasi yang berpasangan menjadi individu yang sendirian, membutuhkan penyesuaian kembali peran-peran dan penyesuaian mental.
Reaksi pertama yang dimunculkan oleh individu saat menghadapi perceraian umumnya adalah reaksi – reaksi yang bersifat emosional. Rekasi tersebut tampak dengan wujud penyangkalan terhadap kenyataan perceraian dan kemarahan yang memuncak pada depresi. Individu pada akhirnya setuju untuk bercerai, hanya ketika melihat kenyataan bahwa perceraian merupakan keputusan yang terbaik dari pada mempertahankan perkawinan yang sudah tidak harmonis.
Berdasarkan peraturan dan hukum yang ditetapkan dan berlaku di Indonesia mengenai perceraian, terdapat  beberapa tahap cerai (Rofiq, 2000):
1)      Tahap Permohonan
a.       Penggugat mendaftarkan dan mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama atau ke Mahakamah Syar’iyah.
b.      Penggugat dan tergugat dipanggil oleh Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah untuk menghadiri persidangan.
2)      Tahap Persidangan
a.       Pada pemeriksaan sidang pertama hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak, dan suami istri harus datang secara pribadi (Pasal 82 UU No.7 Tahun 1989).
b.      Apabila usaha perdamaian pertama belum berhasil, maka hakim mewajibkan kepada kedua belah pihak agar menempuh proses mediasi terlebih dahulu (Pasal 3 Ayat (1) PERMA No.2 Tahun 2003).
c.       Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat gugatan, jawaban, jawab menjawab, pembuktian dan kesimpulan. dalam tahap jawab-menjawab (sebelum pembuktian) tergugat dapat mengajukan gugatan rekonversi atau gugatan balik (Pasal 132a HIR,158 R. Bg).

3)      Tahap Putusan Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah
a.       Gugatan dikabulkan apabila tergugat tidak puas dapat mengajukan banding melalui Penghadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah.
b.      Gugatan ditolak, dan penggugat dapat mengajukan banding melalui Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah tersebut.
c.       Gugatan tidak diterima dan penggugat dapat mengajukan permohonan baru.
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa perceraian baru dapat dilaksanakan apabila telah dilakukan berbagai cara untuk mendamaikan kedua belah pihak untuk tetap mempertahankan keutuhan rumah tangga pasangan suami isteri tersebut dan ternyata tidak ada jalan lain kecuali hanya dengan jalan perceraian.

Akibat Perceraian bagi Suami Istri
·         Pasangan yang pernah hidup bersama lalu kemudian berpisah, tentu akan menjadi canggung saat bertemu kembali.
·         Kebanyakan pasangan yang bercerai umumnya diawali oleh perselisihan atau permusuhan. Bila hubungan rumah tangga terputus akibat permusuhan, hal ini umumnya akan sangat merenggangkan silaturahmi di kemudian hari.
·         Tak hanya diawali oleh permusuhan, pasangan yang awalnya ingin berpisah secara baik-baik pun bisa menjadi saling tidak suka akibat perceraian. Contohnya, masalah yang cukup sulit untuk diselesaikan saat bercerai adalah urusan harta atau hak asuh anak. Dalam hal ini, tak jarang pasangan suami istri yang awalnya berniat cerai baik-baik, kemudian menjadi saling bermusuhan.
·         Perceraian suami istri terkadang menimbulkan trauma bagi pasangan itu sendiri. Kegagalan rumah tangga menjadi kenangan buruk dan kadang menghambat seseorang untuk kembali menikah dengan orang lain.
·         Masalah perceraian adalah masalah yang sangat rumit. Hal ini bisa membuat pasangan menjadi stres dan depresi. Perasaan yang negatif seperti ini tentu sangat tidak menguntungkan, khususnya dalam hal pergaulan maupun pekerjaan.
·         Kehidupan ekonomi setelah bercerai dapat menjadi sulit terutama jika saat menikah dulu, Anda hanya sebagai ibu rumah tangga. Ataupun jika Anda bekerja, tetap saja pendapatan keluarga menjadi berkurang karena kehilangan satu orang pencari nafkah

Dampak  Perceraian
1.        Traumatik
Setiap perubahan akan mengakibatkan stres pada orang yang mengalami perubahan tersebut. Sebuah keluarga melakukan penyesuaian diri terhadap perubahan-perubahan yang terjadi, seperti pindah rumah atau lahirnya seorang bayi dan kekacauan kecil lainnya, namun keretakan yang terjadi pada keluarga dapat menyebabkan luka-luka emosional yang mendalam dan butuh waktu bertahun-tahun untuk penyembuhan (Tomlinson & Keasey, 1985).
Hurlock (1996) dampak traumatik dari perceraian biasanya lebih besar dari pada dampak kematian, karena sebelum dan sesudah perceraian sudah timbul rasa sakit dan tekanan emosional, serta mengakibatkan cela sosial.
Stres akibat perpisahan dan perceraian yang terjadi menempatkan laki-laki maupun perempuan dalam risiko kesulitan fisik maupun psikis. (Coombs & Guttman, dalam Santrock. 2002). Laki-laki dan perempuan yang bercerai memiliki tingkat kemungkinan yang lebih tinggi mengalami gangguan psikiatris, masuk rumah sakit jiwa, depresi klinis, alkoholisme, dan masalah psikosomatis, seperti gangguan tidur, dari pada orang dewasa yang sudah menikah.


Hurlock (1996) dampak perceraian sangat berpengaruh pada anak-anak. Pada umumnya anak yang orang tuanya bercerai merasa sangat luka karena loyalitas yang harus dibagi dan mereka sangat menderita kecemasan karena faktor ketidakpastian mengakibatkan terjadi perceraian dalam keluarganya. Ketidakpastian ini khususnya akan lebih serius apabila masalah keselamatan dan pemeliharaan anak menjadi bahan rebutan anatara ayah dan ibu, sehingga anak akan mondar mandir antara rumah ayah dan ibu.

2.        Perubahan Peran dan Status
Efek yang paling jelas dari perceraian akan mengubah peranan dan status seseorang yaitu dari istri menjadi janda dan suami menjadi duda dan hidup sendiri, serta menyebabkan pengujian ulang terhadap identitas mereka (Schell & Hall, 1994).  Baik pria mupun wanita yang bercerai merasa tidak menentu dan kabur setelah terjadi perceraian. terutama bagi pihak wanita yang sebelum bercerai identitasnya sangat tergantung pada suami.
Hal ini karena orang-orang yang bercerai seringkali menilai kegagalan perkawinan mereka sebagai kebebalan personal. Mereka mencoba untuk mengintegrasikan kegagalan perkawinan dengan definisi personal mereka tentang maskulinitas ataupun feminitas, kemampuan mereka dalam mencintai seseorang, dan aspirasi mereka untuk menjalankan peran sebagai suami, istri, bapak, ibu dari pada anak-anak.

Setelah bercerai baik pria maupun wanita akan terhenti dalam melakukan hubungan seksual secara rutin. Bagi pria biasanya dapat menyelesaikn masalahnya dengan menjalin hubungan seksual dengan wanita lain atau kumpul kebo. Sedangkan janda yang mempunyai anak sering kesulitan dalam menyelesaikan masalah seksualnya.
Menurut Campbell (dalam Schell & Hall, 1994) orang-orang yang bercerai umumnya kurang merasa puas dengan kehidupan mereka dibandingkan dengan orang-orang yang menikah, yang belum menikah, atau bahkan janda / duda yang ditinggal mati. Perasaan tidak puas ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satu diantaranya, orang-orang yang bercerai seringkali menilai kegagalan perkawinan mereka sebagai kegagalan personal.

3.        Sulitnya Penyesuaian Diri
Kehilangan pasangan karena kematian maupun perceraian menimbulkan masalah bagi pasangan itu sendiri. Hal ini lebih menyulitkan khususnya bagi wanita. Wanita yang diceraikan oleh suaminya akan mengalami kesepian yang mendalam. Bagi wanita yang bercerai, masalah sosial lebih sulit diatasi dibandingkan bagi pria yang bercerai. Karena wanita yang diceraikan cenderung dikucilkan dari kegiatan sosial, dan yang labih buruk lagi seringkali ditinggalkan oleh teman-teman lamanya.   Namun jika pria yang diceraikan atau menduda akan mengalami kekacauan pola hidup (Hurlock,1996)
Beberapa individu, tidak pernah dapat menyesuaikan diri dengan perceraian. Individu itu bereaksi terhadap perceraiannya dengan mengalami depresi yang sangat dan kesedihan yang mendalam, bahkan dalam beberapa kasus, sampai pada taraf bunuh diri. Bagaimanapun, tidak semua pasangan yang bercerai mengakhirinya dengan permusuhan. Beberapa diantaranya masih tetap berteman dan memelihara hubungan dengan lain pihak melalui minat yang sama terhadap anak-anaknya.

Hozman dan Froiland (dalam Hurlock, 1996) menjelaskan tentang kesulitan dan kerumitan penyesuaian diri setelah terjadi perceraian. Mereka membagi 5 tahap penyesuaian setelah terjadinya penyesuaian yaitu 
Menyangkal bahwa ada perceraian,
Timbul kemarahan dimana masing-masing individu tidak ingin saling terlibat, 
Dengan alasan pertimbangan anak mereka berusaha untuk tidak bercerai, 
Mereka mengalami depresi mental ketika mereka tahu akibat menyeluruh dari perceraian terhadap kelurga, 
Dan akhirnya mereka setuju untuk bercerai. Dampak perceraian khususnya sangat berpengaruh pada anak-anak. Kenyataan ini yang sering kali terlupakan oleh pasangan yang hendak bercerai (Papalia & Diane, 2001). Perceraian menyebabkan problem penyesuaian bagi anak-anak. Situasi  perceraian ini, khususnya jika anak-anak memandang bahwa kehidupan keluarganya selama ini sangat bahagia, dapat menjadi situasi yang mengacaukan kognitifnya.

Masa ketika perceraian terjadi merupakan masa kritis buat anak, terutama menyangkut hubungan  dengan orangtua yang tinggal bersama. Pada masa ini anak harus mulai beradaptasi dengan perubahan hidupnya yang baru. Proses adaptasi pada umumnya membutuhkan waktu. Pada awalnya anak akan sulit menerima kenyataan bahwa orang tuanya tidak bersama lagi.
Namun banyak wanita dan pria yang merasa beruntung dengan adanya perceraian, dengan pengertian bahwa perceraian tersebut memberikan kesempatan pada mereka untuk memulai hidup yang baru (Hurlock, 1996). Hetherington dan kawan-kawan (Hurlock, 1996), menjelaskan bahwa pasangan yang bercerai pada umumnya berharap tekanan dan konflik batin berkurang dapat menikmati kebebasan lebih besar dan akan menemukan kebahagiaan diri sendiri. Studi tentang akibat perceraian pada anggota keluarga membawa dampak yang sangat besar, terutama pada tahun pertama setelah perceraian kemudian bertahap akan terjadi penyesuaian terhadap berbagai masalah yang ada dalam keluarga.


2.3.            Faktor-faktor penyebab perceraian
Lalu apa saja faktor penyebab timbul nya perceraian? dibawah ini ada faktor yang sering kali terjadi:
1.      Kesetian dan Kepercayaan
Didalam hal ini yang sering kali menjadi pasangan rumah tangga bercerai, dalam hal ini baik pria ataupun wanita sering kali mengabaikan peranan kesetiaan dan kepercayaan yang diberikan pada tiap pasangan, hingga timbul sebuah perselingkuhan.
2.      Seks
Didalam melakukan hubungan seks dengan pasangan kerap kali pasangan mengalami tidak puas dalam bersetubuh dengan pasangannya, sehingga menimbulkan kejenuhan tiap melakukan hal tersebut, dan tentunya anda harus mensiasati bagaimana pasangan anda mendapatkan kepuasan setiap melakukan hubungan seks.


3.      Ekonomi
Tingkat kebutuhan ekonomi di jaman sekarang ini memaksa kedua pasangan harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, sehingga seringkali perbedaan dalam pendapatan atau gaji membuat tiap pasangan berselisih, terlebih apabila sang suami yang tidak memiliki pekerjaan.

4.      Pernikahan Tidak Dilandasi rasa Cinta
Untuk kasus yang satu ini biasanya terjadi karna faktor tuntutan orang tua yang mengharuskan anaknya menikah dengan pasangan yang sudah ditentukan, sehingga setelah menjalani bahtera rumah tangga sering kali pasangan tersebut tidak mengalami kecocokan.
2.4.            Alasan-alasan Perceraian menurut UU
Mengenai alasan perceraian, UU perkawinan hanya mengaturnya secara umum yaitu bahwa untuk melakukan perceraian harus cukup ada alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri (pasal 34 ayat 2 UU perkawinan). Di dalam PP No.9 tahun 1975 pasal 14 dinyataka hal-hal yang menyebabkan terjadinya karena alasan-alasan sebagai berikut :
a)         Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sulit disembuhkan.
b)         Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-berturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
c)         Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d)        Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.
e)         Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.
f)          Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan  pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Dilihat dari pasal 116, ada tambahan dua sebab perceraian dibanding dengan pasal 14 PP 9 tahun 1975 yaitu suami melanggar taklik talak dan murtad. Tambahan ini relative penting karena sebelumnya tidak ada.
Alasan-alasan perceraian diatas secara limitatif ( terbatas pada apa yang disebutkan UU saja ) dan disamping itu harus ada alasan seperti yang disebutkan dalam pasal 39 ayat 2 UUP, maka jelas kepada kita bahwa UU sangat mempersulit terjadinya perceraian. Apalagi prosedur perceraian itu, haruslah melalui pengadilan yang berwenang dan sebelum hakim memutuskan perkara perceraian itu dia terlebih dahulu mengadakan perbagai usaha perdamaian diantara suami istri itu, baik dilakukan sendiri maupun bantuan pihak lain.
Dengan ketentuan tersebut diatas, maka perceraian tidak dapat lagi dilakukan sewenang-wenang oleh salah satu pihak suami-istri dan apabila mereka akan bercerai terlebih dahulu harus diuji dan diperiksa, apakah perceraian tersebut dapat dibenarkan oleh UU atau tidak.
Ketentuan ini merupakan sebagian dari tuntutan kaum wanita Indonesia, yang melihat praktek-praktek perceraian sebelum adanya UU perkawinan. Sedangkan dalam penentuan dalam proses perceraian ini adalah wewenang dari instansi peradilan. Oleh karena itu, diharapkan agar hakim dapat memikul tanggung jawab yang besar dengan kesadaran tinggi akan jiwa dan tujuan yang diatur dalam UU perkawinan serta harapan masyarakat pada umumnya.
2.5.            Tata cara untuk mengajukan gugat cerai
Pasal 40 Undang-Undang Perkawinan ( UU No. 1/1974),yaitu dalam ayat-ayatnya sebagai berikut.
1.         Gugatanperceraian diajukan kepada pengadilan
2.         Tata cara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) diatur dengan peraturan perundangan tersendiri.
Pengaturan tentang Tata cara Perceraian selanjutnya terdapat dalam
1.      Bab V dimulai dari Pasal 14 hingga Pasal 36 PP No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
2.      Menurut Pasal 14 PP No. 9 tahun 1975 tersebut, seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai alasanalasannya, serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu. Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi surat tersebut dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari memanggil pengirim surat dan juga isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud perceraian tersebut
3.      Pasal 16 PP tersebut mengatur bahwa pengadilan hanya memutuskan untuk mengadakan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian apabila memang terdapat alasan-alasan yang tepat dan Pengadilan berpendapat bahwa antara suami isteri yang bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga (Pasal 16). Sesaat setelah dilakukan sidang untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud maka Ketua Pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian tersebut. Surat keterangan itu dikirimkan kepada pegawai Pencatat di tempat perceraian itu terjadi utuk diadakan pencatatan perceraian (Pasal 17).

2.6.               Dampak Perceraian pada Anak
Perceraian tak hanya berdampak pada pasangan suami istri (pasutri), perceraian juga berdampak buruk pada si buah hati. Bukan hanya hak asuh yang menjadi permasalahan, faktor psikologis anak juga harus dipertimbangkan. Banyak masalah yang akan dihadapi anak pascaperceraian.
Perceraian dapat menimbulkan dampak serius karena adanya perubahan kondisi finansial, tempat tinggal, dan hilangnya kontak dengan orang tua kandung akan berpengaruh pada sumber daya ekonomi dan sosial.
Menurut beberapa ahli bahwa permasalahan yang paling penting adalah bahwa anak tidak lagi tinggal dengan kedua orang tua kandungnya. Hal ini akan berpotensi menimbulkan banyak masalah baru dalam kelanjutannya.
Biasanya anak paling tidak siap dengan perpisahan orang tua. Malah banyak anak yang depresi gara-gara perceraian. Ujungnya, anak menjadi terlalu emosional dan akan melakukan hal-hal untuk menarik perhatian. Biasanya mereka mulai melakukan hal-hal buruk seperti merokok, salah gaul, hingga kecanduan narkoba. Itu adalah beberapa bentuk pelarian yang negatif. Dalam kasus perceraian, anak juga akan mengalami dilema antara memilih ibu atau ayahnya. Bisa saja saat mereka bersama ayah, yang terpikir justru kebersamaan tersebut akan menyakiti perasaan ibunya. Atau mungkin timbul pertanyaan bagaimana jika mereka hanya menyayangi salah satu orang tuanya. Selain itu ada beberapa hal yang merupakan dampak perceraian pada anak, yakni:
1.      Tingkat kepercayaan seorang anak kepada orang tuanya akan  bergeser dan berubah. Ibarat piring yang sudah pecah, maka jiwa seorang anak tak akan utuh seperti semula.
2.      Paradigma si anak terhadap esensi sebuah kebenaran yang hakiki akan berubah. Dia akan apatis dan apriori terhadap khotbah dan wejangan, dan menganggapnya sebagai kemunafikan orang dewasa.
3.      Tingkat konsentrasi seorang anak dalam segala hal termasuk dalam hal belajar, akan kabur dan ngambang.
4.      Rasa hormat seorang anak kepada orang tuanya yang sudah dianggap panutan baginya akan luntur secara perlahan.
5.      Rasa percaya diri si anak akan hilang, sedangkan sikap skeptis dan ragu semakin besar.
Sebenarnya masih banyak efek perceraian pada anak seperti jiwanya kehilangan kendali, sehingga mudah terpengaruh oleh arus zaman yang negatif seperti pergaulan bebas, budak narkoba, menjadi pengikut aliran sesat, dsb. Semua pihak berkewajiban mengantisipasi dampak perceraian pada anak dengan cara merangkul mereka dengan siraman rohani yang menyejukkan.

Talaq dalam Perspektif UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI
Lahirnya regulasi perkawinan dalam bentuk undang-undang dan KHI (Kompilasi Hukum Islam) tidak lain adalah untuk mengatur ketertiban, manjamin dan menjaga hak-hak kedua belah pihak agar tidak dirampas. Oleh karena itu perceraian bukanlah persolan Indvidual Affair semata akan tetapi sudah pula masuk dalam wilayah kewenangan Negara sebagai pengaturnya. Dalam perspektif undang-undang sebagaimana dijelaskan dalam UU No. Tahun 1974 pasal 38 dinyatakan :
Perkawinan dapat putus karena 3 sebab, yaitu:
a.       kematian
b.      perceraian
c.       atas keputusan Pengadilan.
Redaksi pasal tersebut sama dengan redaksi pasal yang ada di Kompilasi Hukum Islam pasal 113. Apabila merujuk pada UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI, maka perceraian hanya bisa dilakukan di muka pengadilan. Sebagaimana bunyi pasal UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawianan pasal 39 dinyatakan :
1.      Perceraian hanya dapat dilakukan di depan siding pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
2.      Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alas an bahwa suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
3.      Tata cara perceraian di depan pengadilam diatur dalam peraturan perundangan sendiri.
Kemudian pada pasal 115 KHI dinyatakan :
Perceraian hanya dapat dilakukan didepan siding Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
Dari dua redaksi pasal tersebut diatas dapat diketahui adanya perbedaan antara UU No.1 Tahun 1974 dengan KHI. Dalam KHI dinyatakan bahwa putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian. Kedua istilah tersebut tidak terdapat dalam UU Perkawinan. Dalam UU No. 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama, ketentuan mengenai perceraian juga diatur dalam pasal 66 ayat (1) :
Seseorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan isterinya mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan siding guna penyaksian ikrar talak.
Selanjutnya menyangkut saat mulai terjadinya perceraian karena talak dijelaskan didalam PP No. 9 Tahun 1975 pasal 17 sebagai berikut :
Sesaat setelah dilakukan siding pengadilan untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud dalam pasal 16. Ketua pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian tersebut. Surat keterangan itu dikirimkan kepada Pegawai Pencatat di tempat perceraian terjadi untuk diadakan pencatatan perceraian.
Pada pasal 18 dinyatakan :
Perceraian itu dihitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan siding Pengadilan. Dalam hal ini KHI nampaknya sama dalam memandang saat awal perhitungan terjadinya talak seperti terdapat pada pasal 123 :
Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang Pengadilan.
Macam-Macam Talak
Ditinjau dari segi wakttu dijatuhkannya talak, maka talak dibagi menjadi tigamacam sebagai berikut:
a.       Talak sunni, yaitu talak yang dijatuhkan sesuai dengan tuntutan sunnah.Perceraian dikatakan talak sunni bila memenuhi empat syarat:
1.      Istri yang ditalak sudah pernah dikumpuli.
2.      Istri dapat segera melakukan iddah suci setelah ditalak.
3.      Talak itu dijatuhkan ketika istri dalam keadaan suci.
4.      Suami tidak pernah dikumpuli istri selama dalam masa suci dalam manatalak itu dijatuhkan.
b.      Talak Bid’I, yaitu talak yang dijatuhkan tidak sesuai atau bertentangan dengantuntunan sunnah. Yang termasuk talak Bid’I:
1.      Talak yang dijatuhkan terhadap istri pada waktu haidh.
2.      Talak yang dijatuhkan terhadap istri dalam keadaan suci tetapi pernah dikumpuli oleh suami.
c.       Talak Sunni Wal Bid’I, yaitu talak yang tidak termasuk kategori talak Sunni maupun talak Bid’I.
1.      Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah dikumpuli.
2.      Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah haidh/telah lepashaidh.
3.      Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang hamil.Ditinjau dari segi tegas dan tidaknya kata-kata yang dipergunakan sebagai ucapan talak, maka talak dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a.       Talak Sahih, yaitu talak yang diucapkan dengan jelas sehingga ucapantersebut tidak dapat diartikan lain. Contoh: “aku talak engkau” atau “akuceraikan engkau”.
b.      Talak Inayah, yaitu ucapan talak yang tidak jelas atau melalui sindiran.Contoh: “pulanglah kamu”.Ditinjau dari segi ada atau tidaknya kemungkinan bekas suami merujuk kembali bekas istri maka talak dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a)      Talak Raj’I, yaitu talak yang dijatuhkan suami terhadap istrinya yang pernahdikumpuli bukan karena memperoleh ganti harta dari istri, talak yang pertamakali dijatuhkan atau yang kedua kalinya.
Firman Allah dalam surat Al-Thalak ayat 1:
Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, Maka Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali Allah Mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.

b)      Talak Ba’in, yaitu talak yang tidak memberi hak merujuk bagi bekas suami terhadap bekas istrinya, unttuk mengembalikan bekas istri kedalam ikatan perkawinan dengan bekas suami harus melalui akad nikah baru lengkap dengan rukun dan syaratnya. Talak ba’in ada dua macam:
1.      Talak Ba’in Sughra, yaitu talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akadnikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam masa iddah.
2.      Talak Ba’in Qubra, yaitu talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak initidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahi kembali kecuali bekas istrinyatelah menikah dengan orang lain.Ditinjau dari cara suami menyampaikan talak terhadap istrinnya, talak ada beberapa macam:
a.       Talak dengan ucapan.
b.      Talak dengan tulisan.
c.       Talak dengan isyarat.
d.      Talak dengan putusan.
Ditinjau dari masa berlakunya talak dapat berlaku seketika, artinya tidak bergantung pada waktu atau keadaan tertentu.Hukum Talak Berdasarkan bentuk-bentuk peristiwa talak yang tersebut diatas, maka talak dapat dibedakan ketetapan hukumnya yang dinamakan hukum talak:
a.       Talak wajib, yaitu wajib hukumnya melakukan talak kalau konflik antara suami istri terus menerus terjadi dan tidak dapat dipertemukan lagi baik oleh keluarga maupun oleh Pengadilan Agama.
b.      Talak haram, yaitu haram hukumnya bagi seorang suami yang menjatuhkan talak kepada istri tanpa sebab yang sah.
c.       Talak mubah, yaitu menceraikan istri tidak dianjurkan, tidak diwajibkan, atau tidak diharamkan asalkan sesuai dengan aturan yang berlaku dan tidak menimbulkan akibat buruk bagi para pihak setelah terjadi perceraian itu.
d.      Talak sunnah, yaitu sunnah hukumya menceraikan istri kalau ia tidak mau merubah kebiasaan buruknya semasa belum kawin atau tidak mau menjaga harga diri sebagai seorang istri.
e.       Talak haram ringan, yaitu seorang suami yang menjatuhkan talak kepada istri dalam keadaan menstruasi yang sebelumnya tidak pernah digauli.
Kewajiban Setelah Perceraian
Setelah proses perceeraian selesai, tidak otomatis maka hak dan kewajibanantara masing-massing mantan suami istri tersebut menjadi hilang. Ada beberapa hak dan kewajiban yang masih harus dilakukan oleh keduanya walaupun telah bercerai.Hal ini berdasarkan ketentuan yang tertulis dalam Al-quran dan sunnah yang mana Al-Quran dan sunnah lebih banyak menyebut keadaan istri (bagaimana para aktifis gender?).Diantara hak dan kewajiban bagi mantan suami setelah bercerai adalah memberikan nafkah sandang dan pangan bagi mantan istrinya selama dalam iddah. Jadi bagi istri yang belum dicampuri tidak punya hak untuk memperoleh nafkah tersebut karena ia juga tidak punya masa iddah. Hal ini hanya berlaku bagi istri yang telah dicampuridan hanya menyesuaikan dengan keadaan istri tersebut. Bila istri sedang hamil maka memberi nafkah sampai ia melahirkan (sesuai dengan masa iddahnya), jika istri tersebut sedang suci maka selama tiga kali suci –tiga kali masa menstruasi- (sesuai dengan masa iddahnya).
Implikasi dan Dampak Bagi Individu Dan Sosial Positif Dan Negatif
Perkawinan adalah keadaan yang menyenangkan dimana dua insanmembangun mahligai rumah tangga demi melanjutkan keturunannya. Kehidupanyang baru bagi orang yang baru melakukan perkawinan tentunya akan menemui berbagai masalah yang harus dihadapi dan diatasi bersama. Sifat atau karakter masing-masing (suami atau istri) harus dapat disesuaikan demi kelancaran perjalanan rumah tangga. Benturan dari berbagai masalah yang tak kunjung habis tentunya tidak semua dapat diatasi bersama, bahkan tak jarang suami ataupun istri memaksakan kehendaknya (egois) sehingga timbullah masalah-masalah baru yang berujung pada penyelesaian akhir yaitu cerai.Islam pada dasarnya membenci adanya "cerai" karena itu berarti manusia tidak dapat berdamai dan hidup rukun. Akan tetapi dalam kehidupan manusia selalusaja menemukan masalah-masalah yang terkadang manusianya tidak dapat atau tidak mampu memyelesaikan masalah tersebut. Islam memaknai cerai sebagai jalan terbaik bagi kedua pasangan suami istri ketika memang tidak ada jalan lain, jika terdapat jalan yang lebih atau dipandang lebih layak dari cerai maka hendaklah cerai itudicegah. Hal ini dikemukakan karena mengingat banyaknya kekhawatiran yangdirasakan oleh si pelaku cerai dan keadan masyarakat disekitarnya.Kasus perceraian yang sering kita dengar dari TV (dalam hal ini artis-artis), mendengar berita itu saja kita sudah beranggapan "yang tidak-tidak", mengingat status janda atau pun duda sangatlah rawan akan pembicaraan orang-orang. Beban psikologis juga dirasakan pada anak-anak mereka (apabila si pelaku cerai mempunyai anak) karena tidak menutup kemungkinan ia akan kehilangan kasih sayang, diejek teman-temannya dan itu akan lebih mungkin akan menjerumuskan diri si anak pada hal-hal yang menyesatkan.












PENUTUP

3.1.            Kesimpulan
Perceraian hukumnya halal, tapi sangat dibenci oleh Allah. Oleh karena itu jangan menjadikan perceraian sebuah jalan keluar untuk sebuah masalah dalam keluarga. Karena bukan hanya suami dan istri yangmenderita kerugian. Tetapi juga anak hasil pernikahan tersebut.



No comments:

Post a Comment